Dampak sering memarahi anak remaja bisa sangat merugikan, mulai dari menurunkan kepercayaan diri hingga memengaruhi perkembangan otak dan kesehatan mental mereka.
Masa remaja merupakan periode transisi dari masa kanak-kanak ke dewasa. Pada fase ini, otak anak mengalami perkembangan pesat, terutama pada bagian yang berhubungan dengan pengambilan keputusan dan pengendalian emosi. Selain itu, remaja mulai mencari identitas diri, membangun hubungan sosial, dan memahami nilai-nilai yang akan membentuk masa depan mereka.
Namun, perubahan besar ini sering kali membuat mereka lebih emosional, mudah terpengaruh, dan kadang-kadang memberontak. Bila orang tua tidak memahami kondisi ini, konflik antara orang tua dan anak menjadi hal yang sulit dihindari. Salah satu bentuk konflik yang sering terjadi adalah kemarahan orang tua yang diluapkan dengan cara verbal atau bahkan fisik.
Sebagai orang tua, tentu menginginkan yang terbaik untuk anak. Namun, ada banyak faktor yang membuat memarahi anak terasa seperti jalan pintas. Berikut beberapa alasan yang sering muncul:
- Setelah hari yang melelahkan, kesabaran sering kali menjadi hal pertama yang hilang.
- Orang tua sering kali memiliki ekspektasi tertentu terhadap anak, dan ketika ekspektasi ini tidak terpenuhi, rasa frustrasi pun muncul.
- Tidak semua orang tua memahami bahwa masa remaja adalah periode penuh eksperimen dan pembelajaran.
Meskipun alasan-alasan ini wajar, penting untuk menyadari bahwa memarahi anak bukanlah solusi yang efektif, bahkan justru dapat memperburuk situasi.
Dampak Sering Memarahi Anak Remaja
Berikut ini dampak buruk sering memarahi anak remaja secara psikologis, sosial, dan fisik.
1. Perilaku Anak Semakin Buruk
Banyak orang tua berharap bahwa memarahi anak akan menjadi metode efektif untuk mendisiplinkan mereka. Namun, kenyataan sering kali berkata lain. Anak yang sering dimarahi justru cenderung menunjukkan perilaku yang lebih buruk. Mengapa? Karena dalam pandangan mereka, kemarahan orang tua adalah bentuk ketidakadilan atau penolakan.
Akibatnya, mereka merasa tidak dihargai dan memilih untuk memberontak sebagai cara menunjukkan ketidakpuasan. Pemberontakan ini bisa beragam, mulai dari perilaku negatif di rumah, seperti mengabaikan perintah orang tua, hingga tindakan berisiko di luar rumah, seperti bergaul dengan lingkungan yang salah.
Selain itu, kemarahan yang konsisten dapat mengikis rasa hormat anak kepada orang tua. Meskipun mereka mungkin patuh untuk sementara karena takut, kepatuhan itu tidak lahir dari kesadaran atau penghormatan, melainkan sekadar untuk menghindari kemarahan lebih lanjut. Dalam jangka panjang, hubungan yang sehat antara orang tua dan anak bisa rusak.
2. Perkembangan Otak Terganggu
Tahukah ayah dan bunda bahwa cara orang tua berkomunikasi memiliki dampak langsung pada perkembangan otak anak remaja? Anak yang sering dimarahi, terutama dengan nada tinggi dan kata-kata kasar, mengalami stres yang memicu pelepasan hormon kortisol secara berlebihan. Penenlitian ilmiah mengungkapkan, dalam jangka panjang, paparan kortisol yang terus-menerus dapat merusak struktur otak, terutama di area yang bertanggung jawab untuk pengendalian emosi dan pengambilan keputusan.
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa anak yang sering mengalami kekerasan verbal memiliki amigdala (bagian otak yang memproses emosi) yang lebih sensitif. Hal ini membuat mereka lebih mudah merasa cemas atau takut, bahkan dalam situasi yang tidak mengancam. Selain itu, koneksi antara amigdala dan prefrontal cortex, bagian otak yang mengatur kontrol diri juga dapat terganggu, menyebabkan kesulitan dalam mengatur emosi.
3. Meningkatkan Risiko Depresi dan Kecemasan
Sering dimarahi tidak hanya memengaruhi kondisi fisik, tetapi juga kesehatan mental anak. Mereka yang terus-menerus menjadi sasaran kemarahan sering kali merasa tidak dicintai atau tidak cukup baik. Perasaan ini dapat berkembang menjadi masalah psikologis seperti depresi atau gangguan kecemasan.
Depresi pada remaja biasanya ditandai dengan hilangnya minat terhadap aktivitas yang sebelumnya menyenangkan, pola tidur yang terganggu, dan perubahan nafsu makan. Dalam beberapa kasus, anak juga bisa mengalami pikiran untuk melukai diri sendiri atau bahkan bunuh diri.
Gangguan kecemasan, di sisi lain, dapat membuat mereka merasa terus-menerus tegang atau takut. Hal ini berdampak pada kemampuan mereka untuk bersosialisasi dan mengikuti kegiatan sehari-hari dengan normal. Sayangnya, dampak ini sering kali terbawa hingga dewasa jika tidak ditangani.
4. Menurunkan Kepercayaan Diri
Masa remaja adalah waktu penting bagi seseorang untuk membangun identitas dan kepercayaan diri. Namun, sering dimarahi dapat menghancurkan proses ini. Remaja yang kerap menjadi objek kemarahan cenderung merasa tidak mampu, tidak dihargai, dan takut gagal.
Sebagai akibatnya, mereka mungkin enggan mencoba hal-hal baru karena takut membuat kesalahan dan dimarahi lagi. Hal ini bisa menghambat perkembangan mereka dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk akademik, sosial, dan karier. Studi ilmiah membuktikan, kepercayaan diri yang rendah juga membuat mereka lebih rentan terhadap tekanan teman sebaya, yang bisa menggiring mereka pada keputusan yang salah.
5. Membentuk Pribadi Pemarah
Anak belajar dari apa yang mereka lihat dan alami. Jika mereka tumbuh dalam lingkungan yang penuh kemarahan, mereka akan menganggap bahwa marah merupakan cara yang normal untuk menyelesaikan masalah. Hal ini dapat membuat mereka menjadi pribadi yang pemarah dan agresif di masa depan.
Ketika mereka menghadapi masalah, mereka mungkin meniru perilaku orang tua dengan memarahi atau bahkan melakukan kekerasan terhadap orang lain. Siklus ini dapat terus berlanjut hingga mereka memiliki keluarga sendiri, menciptakan lingkungan yang tidak sehat untuk generasi berikutnya.
6. Masalah Kesehatan Fisik
Beberapa hasil penenlitian ilmiah membuktikan, dampak stres akibat sering dimarahi tidak hanya memengaruhi psikologis, tetapi juga kesehatan fisik. Stres kronis dapat menyebabkan gangguan tidur, yang pada gilirannya memengaruhi energi dan konsentrasi anak.
Selain itu, stres berkontribusi pada peningkatan risiko penyakit seperti tekanan darah tinggi, gangguan pencernaan, dan penurunan kekebalan tubuh. Anak yang sering stres juga lebih rentan terhadap penyakit menular karena tubuh mereka tidak mampu melawan infeksi dengan efektif.
Cara Menghindari Kebiasaan Memarahi Anak Remaja
Memarahi anak memang kadang sulit dihindari, tetapi ada cara lain yang lebih efektif untuk menghadapi kesalahan atau perilaku buruk anak remaja. Berikut beberapa tips yang bisa ayah dan bunda coba:
1. Kenali Penyebab Kemarahan Ayah dan Bunda
Sebelum melampiaskan kemarahan kepada anak, cobalah untuk mengenali apa yang sebenarnya membuat ayah dan bunda marah. Apakah itu karena perilaku anak, atau ada faktor lain seperti stres kerja atau masalah pribadi? Dengan memahami akar masalah, Anda dapat lebih mudah mengendalikan emosi.
2. Berkomunikasi dengan Tenang
Ketika anak melakukan kesalahan, cobalah untuk berbicara dengannya dengan tenang. Jelaskan apa yang mereka lakukan salah dan bagaimana cara memperbaikinya. Komunikasi yang baik akan membuat anak lebih mudah menerima nasihat Anda tanpa merasa terancam.
3. Berikan Contoh yang Baik
Anak remaja cenderung meniru perilaku orang tua. Oleh karena itu, berikan contoh bagaimana cara menghadapi masalah dengan tenang dan bijaksana. Tunjukkan kepada mereka bahwa ayah dan bunda dapat mengendalikan emosi meskipun sedang menghadapi situasi yang sulit.
4. Beri Penghargaan untuk Perilaku Baik
Selain menegur ketika mereka melakukan kesalahan, jangan lupa untuk memberikan penghargaan saat mereka melakukan hal yang baik. Penghargaan tidak harus berupa hadiah materi, tetapi bisa berupa pujian atau ucapan terima kasih. Hal ini akan mendorong mereka untuk terus berperilaku positif.
5. Konsultasikan dengan Ahli
Bila ayah dan bunda merasa kesulitan mengendalikan emosi atau memahami perilaku anak, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan psikolog atau konselor keluarga. Mereka dapat memberikan panduan dan strategi yang tepat untuk menghadapi masalah Anda.
Semoga ulasan tentang Dampak Sering Memarahi Anak Remaja ini dapat bermanfaat ya untuk ayah dan bunda.
Baca juga:
- Ayah dan Bunda, Ini 5 Efek Memarahi Anak di Depan Umum
- 10 Ciri-Ciri Orang Berkelas Sejati Terletak pada Karakter
- Pandangan Mendalam tentang 10 Kelebihan Introvert dalam Cinta
- Ayah dan Bunda, Ini 9 Cara Memarahi Anak dalam Islam
Referensi
- Wang, M. T., & Kenny, S. (2020). Parental harsh discipline and adolescent adjustment: Bidirectional associations and the moderating effect of child temperament. Child Development, 91(5), e1050–e1066. https://doi.org/10.1111/cdev.13312
- Ma, J., Han, Y., Grogan-Kaylor, A., & Delva, J. (2021). Associations between parental spanking and children’s internalizing and externalizing problems in a global sample of 62 countries. Child Abuse & Neglect, 117, 105067. https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2021.105067
- Heilmann, A., Mehay, A., Watt, R. G., Kelly, Y., Durrant, J. E., van Turnhout, J., & Gershoff, E. T. (2021). Physical punishment and child outcomes: A narrative review of prospective studies. The Lancet, 398(10297), 355–364. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(21)00582-1
- Cuartas, J., Weissman, D. G., Sheridan, M. A., Lengua, L., & McLaughlin, K. A. (2021). Corporal punishment and elevated neural response to threat in children. Child Development, 92(3), 821–832. https://doi.org/10.1111/cdev.13565
- Lansford, J. E., Godwin, J., McMahon, R. J., Crowley, M., & Pettit, G. S. (2021). Developmental precursors and outcomes associated with trajectories of mothers’ harsh parenting from ages 2 to 15. Child Development, 92(5), 1967–1983. https://doi.org/10.1111/cdev.13525
- Lee, S. J., Ward, K. P., Chang, O. D., & Downing, K. M. (2021). Parenting activities and the transition to home-based education during the COVID-19 pandemic. Children and Youth Services Review, 122, 105585. https://doi.org/10.1016/j.childyouth.2020.105585