Strict parents adalah istilah yang semakin populer, terutama di kalangan generasi muda, untuk menggambarkan pola asuh orang tua yang kaku dan penuh aturan. Dalam dunia psikologi, konsep ini sering disamakan dengan pola asuh otoriter (authoritarian parenting). Banyak orang tua menerapkan cara mendidik anak seperti ini dengan niat baik, yaitu untuk mendisiplinkan dan melindungi anak. Namun, tanpa disadari, pendekatan yang penuh tekanan dan kontrol ketat ini justru dapat meninggalkan luka psikologis yang dalam pada diri seorang anak.
Apa Itu Strict Parents?
Secara harfiah, “strict” berarti ketat atau kaku, sementara “parents” artinya orang tua. Strict parents dapat diartikan sebagai orang tua yang menerapkan aturan sangat ketat, kaku, dan membatasi kebebasan anak dalam bersikap. Pola asuh ini seringkali diiringi dengan hukuman keras jika anak tidak patuh.
Dalam kerangka teori pola asuh, strict parents termasuk dalam kategori pola asuh otoriter. Pola asuh ini dicirikan dengan tuntutan tinggi dari orang tua tetapi responsivitas yang rendah terhadap kebutuhan emosional anak. Orang tua dengan gaya ini bertindak seperti komandan yang mengharapkan perintahnya dituruti tanpa pertanyaan.
Penting untuk dibedakan antara strict parents (otoriter) dengan pola asuh otoritatif (authoritative). Meski keduanya menerapkan aturan, pola asuh otoritatif dilandasi oleh kehangatan, komunikasi dua arah, dan memberikan penjelasan logis di balik suatu aturan. Sementara strict parents cenderung dingin dan hanya berfokus pada kepatuhan mutlak.
Ciri-Ciri Strict Parents
Bagaimana mengenali pola asuh otoriter ini? Berikut adalah 7 ciri-ciri strict parents yang paling menonjol:
1. Banyak Aturan Ketat dan Tidak Bisa Ditawar
Rumah yang dipimpin oleh strict parents dipenuhi dengan daftar aturan yang harus dipatuhi anak, mulai dari cara berpakaian, berbicara, hingga mengatur pertemanan. Aturan-aturan ini bersifat mutlak dan tidak ada ruang untuk negosiasi atau diskusi. Anak hanya memiliki satu pilihan: patuh.
2. Kontrol yang Sangat Tinggi terhadap Kehidupan Anak
Orang tua merasa perlu mengawasi dan mengendalikan setiap aspek kehidupan anak. Mereka mungkin memilihkan teman bagi anak, melarang aktivitas tertentu tanpa alasan jelas, dan terus-menerus mengawasi gerak-gerik anak. Kebebasan bereksplorasi dan belajar dari pengalaman sangat dibatasi.
3. Komunikasi Satu Arah (Tidak Ada Diskusi)
Dalam keluarga strict parents, komunikasi hanya mengalir dari atas (orang tua) ke bawah (anak). Anak tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat, perasaan, atau alasannya melakukan sesuatu. Kalimat seperti, “Pokoknya turuti saja apa kata Ibu/Ayah!” adalah hal yang biasa.
4. Ekspektasi Tinggi Tanpa Mempertimbangkan Usaha Anak
Strict parents seringkali menetapkan standar yang sangat tinggi, terutama dalam hal akademik. Yang menjadi masalah, mereka hanya berfokus pada hasil akhir. Jika anak gagal meraih nilai 10, usaha kerasnya untuk naik dari nilai 5 ke 8 tidak dihargai. Apresiasi terhadap proses hampir tidak ada.
5. Memberikan Hukuman Keras atas Kesalahan Kecil
Kesalahan minor, seperti lupa membereskan mainan atau terlambat pulang 5 menit, bisa berujung pada hukuman yang tidak proporsional. Hukuman ini bisa berupa bentakan, kata-kata kasar, cubitan, bahkan hukuman fisik. Tujuannya adalah untuk menanamkan rasa takut agar anak tidak mengulangi kesalahan.
6. Bersikap Dingin dan Kurang Responsif secara Emosional
Kehangatan dan kasih sayang fisik seringkali minim dalam pola asuh ini. Orang tua jarang memeluk atau memberikan pujian. Mereka cenderung menjaga jarak secara emosional, membuat anak merasa tidak dekat secara psikologis dengan orang tuanya sendiri.
7. Menggunakan Kata-Kata Kasar dan Mempermalukan Anak
Untuk mendisiplinkan anak, strict parents mungkin menggunakan kata-kata yang menyakitkan, merendahkan, atau mempermalukan anak di depan orang lain. Mereka percaya bahwa rasa malu akan membuat anak jera, tanpa menyadari bahwa hal itu merusak harga diri dan konsep diri anak.
Dampak Strict Parents pada Anak
Penerapan pola asuh otoriter ini memang bisa menghasilkan anak yang patuh dalam jangka pendek. Namun, dampak negatif jangka panjangnya jauh lebih besar dan dapat membentuk kepribadian anak hingga ia dewasa. Berikut adalah beberapa dampak strict parents yang paling mengkhawatirkan:
1. Gangguan Kesehatan Mental
Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan penuh tekanan dan ketakutan memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan kecemasan dan depresi. Mereka hidup dalam keadaan was-was, selalu khawatir membuat kesalahan dan menerima hukuman. Perasaan tertekan ini, jika terus menumpuk, dapat berubah menjadi depresi di masa remaja atau dewasa.
2. Harga Diri dan Kepercayaan Diri yang Rendah
Karena terus-menerus dikritik, direndahkan, dan jarang diapresiasi, anak dari strict parents akan tumbuh dengan persepsi bahwa dirinya tidak cukup baik. Mereka merasa tidak berharga dan selalu ada yang salah dengan diri mereka. Kepercayaan diri yang rendah ini akan menyulitkan mereka dalam banyak aspek kehidupan, seperti berkarier dan membina hubungan.
3. Kesulitan dalam Mengambil Keputusan
Karena setiap langkahnya selalu diatur dan dikendalikan, anak tidak pernah belajar untuk mempertimbangkan pilihan, menganalisis risiko, dan membuat keputusan sendiri. Ketika dewasa, mereka akan merasa cemas dan kewalahan ketika dihadapkan pada pilihan, baik yang sederhana maupun yang kompleks.
4. Masalah dalam Hubungan Sosial
Dampak strict parents juga terlihat pada kemampuan sosial anak. Mereka bisa tumbuh menjadi dua tipe ekstrem:
- Tidak berani menyuarakan pendapat, sulit berkata “tidak”, dan mudah dimanfaatkan orang lain.
- Meniru perilaku kasar yang diterimanya di rumah, sehingga menjadi mudah marah dan sulit bekerja sama dengan orang lain.
5. Prestasi Akademis yang Justru Bisa Menurun
Tekanan untuk selalu berprestasi tanpa dukungan emosional yang memadai justru bisa menjadi bumerang. Anak mungkin menjadi begitu takut gagal sehingga malah menghindari tantangan. Atau, mereka kehilangan motivasi intrinsik untuk belajar karena merasa melakukannya untuk orang tua, bukan untuk diri sendiri.
6. Pola Hubungan yang Tidak Sehat di Masa Dewasa
Anak dari strict parents cenderung membawa pola relasi yang dipelajarinya di rumah ke dalam hubungan asmara atau persahabatannya. Mereka mungkin menerima perilaku kontrol dari pasangan karena menganggapnya normal, atau justru menjadi pihak yang kontrolif dalam hubungan.
Bagaimana Cara Mengubah Pola Asuh Strict Parents Menjadi Lebih Sehat?
Menyadari bahwa kamu mungkin termasuk strict parents adalah langkah pertama yang sangat berharga. Perubahan memang tidak mudah, tetapi sangat mungkin dilakukan. Berikut adalah langkah-langkah yang dapat Anda coba:
1. Mulai dengan Membuka Diri untuk Mendengarkan
Berikan ruang bagi anak untuk berbicara. Tanyakan pendapatnya tentang suatu hal, dengarkan keluhannya tanpa langsung menghakimi, dan tunjukkan bahwa kamu menghargai suaranya. Jadilah pendengar yang aktif.
2. Jelaskan Alasan di Balik Aturan
Alih-alih hanya memberi perintah, luangkan waktu untuk menjelaskan mengapa suatu aturan dibuat. Misalnya, “Kami menerapkan jam malam pukul 8 malam karena kami khawatir dengan keselamatanmu dan kami ingin kamu cukup istirahat.” Penjelasan ini membantu anak memahami logika dan belajar untuk membuat keputusan yang baik sendiri.
3. Hargai Usaha, Bukan Hanya Hasil
Apresiasi setiap proses dan usaha yang dilakukan anak, sekecil apa pun. Pujilah ketekunannya dalam belajar, bukan hanya nilai ujiannya. Hal ini membangun motivasi intrinsik dan mengajarkan anak untuk tidak takut gagal.
4. Ganti Hukuman dengan Konsekuensi yang Logis dan Mendidik
Daripada menghukum dengan emosi, terapkan konsekuensi yang berkaitan langsung dengan kesalahan. Misalnya, jika anak tidak membereskan mainannya, konsekuensinya adalah ia tidak boleh main game sampai kamarnya rapi. Hindari hukuman fisik dan verbal yang merendahkan.
5. Tingkatkan Kehangatan dan Kedekatan Emosional
Perbanyak kontak fisik yang positif (pelukan, tepukan punggung), luangkan waktu untuk melakukan kegiatan menyenangkan bersama, dan ungkapkan cinta kasih Anda secara verbal. Kehangatan adalah pondasi dari hubungan orang tua-anak yang sehat.
6. Berikan Pilihan dan Otonomi Sesuai Usia
Berikan anak kesempatan untuk membuat pilihan sederhana sejak dini, seperti memilih baju yang akan dipakai atau menu sarapan. Seiring bertambahnya usia, berikan otonomi yang lebih besar dalam mengatur waktunya dan memilih aktivitas yang disukai. Ini melatihnya untuk bertanggung jawab.
7. Berkonsultasilah dengan Psikolog atau Ahli Parenting
Jika merasa kesulitan untuk berubah sendiri, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional. Konsultasi dengan psikolog dapat membantu memahami akar dari pola asuh strict parents yang Anda terapkan dan memberikan strategi yang lebih terstruktur untuk beralih ke pola asuh otoritatif yang lebih ideal.
Perubahan menuju pola asuh yang lebih demokratis, hangat, dan komunikatif—seperti pola asuh otoritatif—adalah kunci untuk memutus rantai ini. Dengan belajar mendengarkan, menghargai proses, dan memberikan kehangatan, bukan hanya sedang memperbaiki cara mendidik anak, tetapi juga sedang membangun hubungan yang lebih kuat dan bermakna dengan buah hati untuk seumur hidup.
Baca juga:
- 7 Peran Ayah dalam Kecerdasan Anak Melalui Keterlibatan Aktif
- 7 Ciri Orang Tua Narsistik dan Dampaknya terhadap Anak
- Ini 10 Manfaat Family Time untuk Mental, Pasangan, dan Anak
- Bentuk Kepala Bayi Cerdas Berdasarkan Hasil Riset Ilmiah
- 12 Kebiasaan Unik Orang Cerdas yang Jarang Diketahui
FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)
1. Apa bedanya strict parents (otoriter) dengan pola asuh yang disiplin?
Perbedaannya terletak pada komunikasi dan kehangatan. Pola asuh yang disiplin (biasanya dalam pola asuh otoritatif) memiliki aturan jelas dengan penjelasan, menghargai pendapat anak, dan dilandasi kasih sayang. Sementara strict parents (otoriter) hanya menuntut kepatuhan mutlak tanpa diskusi, seringkali dengan hukuman dan sedikit kehangatan.
2. Apakah semua anak dari strict parents pasti bermasalah?
Tidak selalu, tetapi risikonya sangat tinggi. Beberapa anak mungkin bisa beradaptasi, namun sebagian besar akan menunjukkan setidaknya satu atau dua dampak negatif seperti yang telah dijelaskan. Ketahanan setiap anak berbeda, tetapi lingkungan pengasuhan yang positif tetaplah yang terbaik.
3. Saya adalah korban dari strict parents. Apa yang harus saya lakukan?
Menyadari hal tersebut adalah langkah awal yang penting. Anda bisa:
- Bicaralah dengan teman tepercaya, guru, atau konselor.
- Pertimbangkan untuk melakukan konsultasi dengan psikolog untuk menyembuhkan luka masa kecil dan mempelajari cara membangun harga diri.
- Pelajari tentang pola asuh yang sehat agar Anda tidak mengulangi siklus yang sama pada anak Anda nanti.
4. Bagaimana cara menjelaskan kepada pasangan yang memiliki gaya parenting strict parents?
Pilih momen yang tenang dan hindari menyalahkan. Gunakan kata “saya” daripada “kamu”. Contoh: “Saya khawatir jika kita terlalu keras, anak bisa menjadi takut untuk berbicara dengan kita. Bagaimana kalau kita coba dengar dulu alasannya jika dia melakukan kesalahan?” Ajaklah pasangan membaca artikel atau mengikuti seminar parenting bersama.
5. Apakah pola asuh strict parents sama sekali tidak memiliki dampak positif?
Dalam beberapa konteks budaya tertentu, kontrol ketat mungkin dianggap melindungi anak dari lingkungan yang berisiko. Anak dari strict parents juga mungkin terlihat disiplin dan ambisius. Namun, “keberhasilan” ini seringkali dibayar mahal dengan tekanan batin dan masalah emosional yang tidak terlihat. Dampak negatifnya secara umum masih lebih dominan.
Referensi
- Bornheimer, L.A., Acri, M., Li Verdugo, J. et al. Family Processes and Mental Health among Children and Caregivers in a Family Strengthening Program. J Child Fam Stud 30, 2903–2912 (2021). https://doi.org/10.1007/s10826-021-02035-w
- Pinquart, M., & Kauser, R. (2018). Do the associations of parenting styles with behavior problems and academic achievement vary by culture? Results from a meta-analysis. Cultural Diversity and Ethnic Minority Psychology, 24(1), 75–100. https://doi.org/10.1037/cdp0000149
- Hosokawa, R., & Katsura, T. (2017). Marital relationship, parenting practices, and social skills development in preschool children. Child and Adolescent Psychiatry and Mental Health, 11, 2. https://doi.org/10.1186/s13034-016-0139-y
- Calafat, A., GarcÃa, F., Juan, M., Becoña, E., & Fernández-Hermida, J. R. (2014). Which parenting style is more protective against adolescent substance use? Evidence within the European context. Drug and Alcohol Dependence, 138, 185–192. https://doi.org/10.1016/j.drugalcdep.2014.02.705
- Deater-Deckard, K., & Dodge, K. A. (1997). Externalizing behavior problems and discipline revisited: Nonlinear effects and variation by culture, context, and gender. Psychological Inquiry, 8(3), 161–175. https://doi.org/10.1207/s15327965pli0803_1
- Steinberg, L., Lamborn, S. D., Darling, N., Mounts, N. S., & Dornbusch, S. M. (1994). Over-time changes in adjustment and competence among adolescents from authoritative, authoritarian, indulgent, and neglectful families. Child Development, 65(3), 754–770. https://doi.org/10.1111/j.1467-8624.1994.tb00781.x
- Braza, P., Carreras, R., Muñoz, J. M., Braza, F., Azurmendi, A., Pascual-Sagastizábal, E., Cardas, J., & Sánchez-MartÃn, J. R. (2015). Negative maternal and paternal parenting styles as predictors of children’s behavioral problems: Moderating effects of the child’s sex. Journal of Child and Family Studies, 24(4), 847–856. https://doi.org/10.1007/s10826-013-9893-0
- Wolfradt, U., Hempel, S., & Miles, J. N. V. (2003). Perceived parenting styles, depersonalisation, anxiety and coping behaviour in adolescents. Personality and Individual Differences, 34(3), 521–532. https://doi.org/10.1016/S0191-8869(02)00092-2