7 Langkah Cara Mengatasi Anak Agar Tidak Buang Air Besar di Celana

Cara Mengatasi Anak Agar Tidak Buang Air Besar di Celana

Cara Mengatasi Anak Agar Tidak Buang Air Besar di Celana – “Bunda, aku… maaf.” Kalimat itu sering diucapkan dengan suara lirih disertai raut malu dan bersalah. Melihat si Kecil masih buang air besar (BAB) di celana, terutama di usia yang sudah melewati masa toilet training, tentu bisa membuat orang tua merasa jengkel, khawatir, dan bingung. Jika kejadian ini berlangsung di sekolah, dampaknya bisa lebih serius: anak menjadi bahan ejekan teman-temannya dan kepercayaan dirinya anjlok.

Namun, penting untuk diingat, mengatasi anak yang BAB di celana memerlukan pendekatan yang tenang, penuh pengertian, dan jauh dari emosi negatif. Kebiasaan ini, dalam dunia medis sering dikaitkan dengan encopresis, namun tidak semua kasus disebabkan oleh hal tersebut.

Memahami Akar Masalah Kenapa Anak Masih BAB di Celana?

Sebelum mengambil tindakan, memahami penyebabnya adalah kunci utama. Membentak atau menghukum justru akan memperparah situasi. Secara umum, penyebabnya dapat dibagi menjadi dua: faktor psikologis/kebiasaan dan faktor medis.

1. Faktor Psikologis dan Kebiasaan

Di sisi psikologis dan kebiasaan, kesalahan dalam toilet training merupakan pemicu utama. Jika proses ini dilakukan dengan terburu-buru, penuh paksaan, atau diwarnai hukuman, anak dapat mengembangkan rasa takut atau jijik terhadap toilet maupun kotorannya sendiri. Akibatnya, mereka memilih untuk menahan BAB atau melakukannya di celana karena menganggapnya sebagai “zona nyaman”. Penyebab umum lainnya adalah kebiasaan menahan BAB (stool withholding). Anak melakukannya karena berbagai alasan, seperti takut merasakan sakit (terutama jika pernah mengalami sembelit), merasa tidak nyaman dengan toilet di tempat umum seperti sekolah, atau terlalu asyik bermain sehingga mengabaikan panggilan alam. Selain itu, perubahan rutinitas atau stres, seperti pindah rumah, mulai sekolah, atau perselisihan dalam keluarga, dapat menimbulkan kecemasan pada anak yang akhirnya termanifestasi dalam kebiasaan BAB-nya.

2. Faktor Medis

Di sisi medis, sembelit atau konstipasi kronis adalah penyebab paling umum dari kebiasaan ini. Saat sembelit, tinja menjadi keras, kering, dan sulit dikeluarkan. Rasa sakit yang timbul justru membuat anak semakin takut dan memilih untuk menahannya. Akibatnya, tinja terus menumpuk di usus besar dan rektum. Penimbunan tinja dalam waktu lama menyebabkan usus membesar dan melemahkan saraf yang berfungsi merasakan keinginan BAB. Pada akhirnya, tinja cair yang baru terbentuk dapat bocor keluar (disebut overflow incontinence) dengan mengelilingi tinja yang keras, sehingga mengotori celana tanpa bisa ditahan lagi oleh anak. Kondisi medis spesifik yang sering terkait adalah encopresis, yaitu istilah medis untuk keadaan di mana anak (biasanya di atas usia 4 tahun) secara konsisten BAB di pakaiannya, baik disengaja maupun tidak, sebagai akibat dari sembelit kronis yang tidak tertangani. Penting untuk dipahami bahwa encopresis bukanlah masalah perilaku yang disengaja, melainkan suatu komplikasi dari konstipasi. Kondisi medis lain yang lebih jarang juga dapat menjadi pemicu, seperti Irritable Bowel Syndrome (IBS) atau masalah pada saraf dan otot di sekitar usus.

Cara Mengatasi Anak Agar Tidak Buang Air Besar di Celana

Setelah memahami penyebabnya, berikut adalah langkah-langkah komprehensif yang bisa Bunda dan Ayah terapkan di rumah cara mengatasi anak agar tidak buang air besar di celana.

1. Evaluasi dan Atasi Masalah Medis Terlebih Dahulu

Langkah pertama dan terpenting adalah mengevaluasi dan mengatasi masalah medis yang mendasarinya. Jika kebiasaan ini berlangsung terus-menerus, segera bawa anak ke dokter anak untuk menjelaskan gejala-gejalanya secara detail. Untuk kasus yang lebih kompleks seperti encopresis dan sembelit kronis, dokter biasanya akan merekomendasikan pembersihan usus besar melalui pemberian obat pencahar, supositoria rektal, atau enema sesuai resep dokter.

2. Terapkan Kembali Toilet Training dengan Pendekatan Positif

Setelah memastikan kondisi medis terkendali, terapkan kembali toilet training dengan pendekatan positif. Mulailah dengan menjelaskan pentingnya BAB di toilet menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti anak. Ciptakan pengalaman yang menyenangkan dengan membiarkan anak memilih dudukan toilet sendiri atau menempel stiker favoritnya. Ajarkan juga posisi yang tepat dengan menaruh bangku kecil untuk pijakan kaki agar proses BAB lebih mudah.

3. Bangun Rutinitas ke Toilet yang Konsisten

Konsistensi dalam membangun rutinitas ke toilet menjadi kunci berikutnya. Amati pola waktu anak biasanya BAB di celana, lalu buat jadwal toilet teratur dengan mengajak anak duduk di toilet 15-30 menit setelah makan atau di pagi hari. Jika anak biasanya BAB di celana pada jam tertentu, ajak ia ke toilet 30 menit sebelum waktu tersebut untuk mencegah “kecelakaan”.

4. Terapkan Pola Makan Kaya Serat dan Cukup Cairan

Pola makan juga memegang peranan penting dalam strategi jangka panjang. Tingkatkan asupan serat dengan memberikan buah-buahan seperti pepaya dan pir, serta sayuran seperti brokoli dan bayam. Pastikan hidrasi yang cukup dengan membiasakan anak minum air putih sepanjang hari, sambil membatasi minuman manis dan susu berlebihan yang dapat memicu konstipasi.

5. Berikan Kepercayaan dan Privasi

Memberikan kepercayaan dan privasi kepada anak sangat penting untuk membangun kemandiriannya. Hindari terlalu banyak memberi perintah dan berikan ruang privasi dengan menunggu di luar kamar mandi. Ajarkan juga kebersihan diri yang benar, termasuk cara cebok dari depan ke belakang dan mencuci tangan setelah dari toilet.

6. Berikan Apresiasi, Bukan Hukuman

Pendekatan apresiasi terbukti lebih efektif daripada hukuman. Berikan pujian yang tulus dan spesifik ketika anak berhasil, serta buat sistem reward sederhana menggunakan chart prestasi dengan stiker bintang. Yang tak kalah penting, hindari mempermalukan anak di depan orang lain ketika terjadi “kecelakaan”.

7. Hadapi dengan Kesabaran dan Jangan Menyerah

Proses mengatasi anak yang BAB di celana jarang yang instan. Butuh waktu, konsistensi, dan kesabaran yang besar.

  • Saat anak gagal dan BAB di celana, tarik napas dalam. Bersihkan dengan tenang dan katakan, “Tidak apa-apa, lain kali kita coba lagi ya. Ingat, kalau merasa mau BAB, langsung bilang ke Bunda.”
  • “Kecelakaan” adalah bagian dari proses belajar. Terkadang kondisi akan membaik, lalu tiba-tiba mundur lagi. Ini normal. Yang penting adalah tetap konsisten dengan pendekatan positif.

Kapan Harus Waspada dan Segera Membawa Anak ke Dokter?

Segera cari bantuan medis jika Anda menemukan tanda-tanda berikut:

  • Kebiasaan BAB di celana berlangsung terus-menerus selama berminggu-minggu meski sudah dilakukan berbagai cara di rumah.
  • Anak mengeluh sakit perut yang hebat, nyeri pada anus saat BAB, atau terdapat darah pada tinja.
  • Tinja berbau sangat busuk tidak seperti biasa.
  • Anak mengalami sembelit parah disertai muntah atau perut kembung.
  • Mengompol juga terjadi bersamaan, karena tinja yang menumpuk bisa menekan kandung kemih.
  • Anak menunjukkan tanda-tanda dehidrasi atau penurunan berat badan.

Dengan memahami akar masalahnya, menerapkan langkah-langkah praktis dengan penuh kasih, dan tidak ragu untuk mencari bantuan profesional, Bunda dan Ayah dapat membimbing si Kecil melewati fase ini dengan sukses. Percayalah, dengan dukungan yang tepat, kebiasaan ini akan berlalu, dan anak akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih percaya diri dan mandiri. Semoga informasi Cara Mengatasi Anak Agar Tidak Buang Air Besar di Celana, dapat bermanfaat ya.

Baca juga:

FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)

1. Apakah normal jika anak usia 5 tahun masih sesekali BAB di celana?

Sesekali “kecelakaan” (misalnya sebulan sekali) pada anak usia 5 tahun masih bisa dianggap wajar, terutama jika anak sedang sakit, stres, atau terlalu asyik bermain. Namun, jika frekuensinya sering (beberapa kali dalam seminggu) dan sudah menjadi pola, ini perlu ditangani secara serius karena bisa jadi tanda sembelit kronis atau encopresis.

2. Apa perbedaan antara anak yang sengaja BAB di celana dan yang tidak bisa menahan?

Pada kebanyakan kasus, anak tidak bisa menahan karena adanya masalah medis seperti sembelit. Kebocoran terjadi tanpa disadari (overflow incontinence). Anak yang sengaja biasanya sangat jarang dan lebih berkaitan dengan masalah perilaku atau psikologis yang berat (seperti trauma). Konsultasi dengan dokter atau psikolog anak diperlukan untuk membedakannya.

3. Bagaimana cara membujuk anak yang takut duduk di toilet?

Buat pengalaman di toilet semenyenangkan mungkin. Ajak ia menghias toilet, bacakan buku favoritnya, atau nyalakan musik. Jangan paksa. Mulailah dengan durasi pendek (2-3 menit) dan tingkatkan secara bertahap. Gunakan pujian untuk setiap usaha kecilnya, sekadar mau duduk di toilet saja sudah merupakan prestasi.

4. Benarkah kebiasaan BAB di celana bisa mempengaruhi psikologi anak?

Sangat benar. Anak bisa merasa malu, rendah diri, dan takut diejek. Ini dapat mempengaruhi kehidupan sosial dan akademisnya di sekolah. Oleh karena itu, dukungan emosional dari orang tua dengan tidak menyalahkan dan selalu memberikan semangat adalah hal yang sangat krusial.

5. Apa yang harus saya lakukan jika anak BAB di celana di sekolah?

Bekerjasamalah dengan guru. Jelaskan situasi yang sedang dihadapi anak dan upaya yang sudah dilakukan di rumah. Minta bantuan guru untuk mengingatkan anak dengan lembut untuk pergi ke toilet pada jam-jam tertentu dan memastikan bahwa toilet sekolah bersih dan nyaman. Siapkan juga pakaian ganti di tas sekolah untuk berjaga-jaga.

Referensi

  1. Brazzelli, M., Griffiths, P. V., Cody, J. D., & Tappin, D. (2011). Behavioural and cognitive interventions with or without other treatments for the management of faecal incontinence in children. Cochrane Database of Systematic Reviews, *2011*(12), CD002240. https://doi.org/10.1002/14651858.CD002240.pub4
  2. Koppen, I. J. N., Lammers, L. A., Benninga, M. A., & Tabbers, M. M. (2015). Management of functional constipation in children: Therapy in practice. Paediatric Drugs, *17*(5), 349–360. https://doi.org/10.1007/s40272-015-0142-4
  3. Rajindrajith, S., Devanarayana, N. M., & Benninga, M. A. (2013). Review article: Faecal incontinence in children: Epidemiology, pathophysiology, clinical evaluation and management. Alimentary Pharmacology & Therapeutics, *37*(1), 37–48. https://doi.org/10.1111/apt.12103
  4. Tabbers, M. M., DiLorenzo, C., Berger, M. Y., Faure, C., Langendam, M. W., Nurko, S., Staiano, A., Vandenplas, Y., & Benninga, M. A. (2014). Evaluation and treatment of functional constipation in infants and children: Evidence-based recommendations from ESPGHAN and NASPGHAN. Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, 58(2), 258–274. https://doi.org/10.1097/MPG.0000000000000266
  5. Youssef, N. N., & Di Lorenzo, C. (2001). Childhood constipation: Evaluation and treatment. Journal of Clinical Gastroenterology, 33(3), 199–205. https://doi.org/10.1097/00004836-200109000-00006
  6. Harvard Health Publishing. (2018, December). Encopresis (fecal soiling). Harvard Medical School. https://www.health.harvard.edu/a_to_z/encopresis-fecal-soiling-a-to-z
Scroll to Top