9 Dampak Negatif pada Otak Anak yang Sering Dimarahi

Otak Anak yang Sering Dimarahi

Otak anak yang sering dimarahi membawa dampak negatif tidak hanya memengaruhi masa kecil mereka, tetapi juga membawa konsekuensi jangka panjang pada kesehatan mental dan emosional mereka.

Sebagai orang tua, tentu kita ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak. Namun, dalam perjalanan pengasuhan, momen kehilangan kesabaran tak dapat dielakkan. Ketika Si Kecil melakukan kesalahan, sering kali insting pertama kita adalah menegur mereka dengan nada tinggi. Tetapi, pernahkah kita bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada otak anak yang sering dimarahi?

Otak anak adalah organ yang sangat kompleks dan terus berkembang pesat sejak lahir hingga usia lima tahun. Pada masa ini, otak anak membentuk triliunan koneksi saraf (sinapsis) yang membantu mereka belajar, berpikir, dan merespons lingkungan.

Setiap pengalaman yang dialami anak, baik positif maupun negatif, meninggalkan jejak dalam otaknya. Ketika anak sering dimarahi, pengalaman tersebut memengaruhi koneksi saraf yang terbentuk di otaknya. Pengalaman negatif ini dapat berdampak pada fungsi otak dan perilaku anak di masa depan.

Dampak Negatif pada Otak Anak yang Sering Dimarahi

Berikut ini beberapa dampak yang terjadi pada otak anak jika mereka sering mendapatkan teguran atau marah dari orang tua:

1. Lonjakan Hormon Kortisol

Ketika anak dimarahi, tubuhnya merespons dengan melepaskan hormon kortisol, yang dikenal sebagai hormon stres. Hormon ini dirancang untuk membantu tubuh menghadapi situasi darurat. Namun, jika dilepaskan secara berlebihan dan terus-menerus, kortisol dapat merusak struktur otak.

Menurut penelitian ilmiah neuropsikolog, kortisol memengaruhi banyak wilayah otak, termasuk korteks prefrontal yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan, pengendalian emosi, dan pemikiran rasional. Lonjakan kortisol yang terus-menerus dapat menghambat perkembangan wilayah ini. Anak yang sering dimarahi mungkin menunjukkan gejala seperti sulit berkonsentrasi, mudah cemas, dan kurang percaya diri.

2. Gangguan pada Korteks Prefrontal

Korteks prefrontal merupakan bagian otak yang penting untuk berpikir logis, pengambilan keputusan, dan pengendalian impuls. Studi membuktikan, saat anak dimarahi, korteks prefrontal menjadi kurang aktif. Hal ini membuat anak sulit berpikir rasional dan mengatur emosinya.

Sebagai contoh, ketika seorang anak dimarahi karena menjatuhkan gelas, respons otak mereka bukan belajar untuk lebih hati-hati, melainkan rasa takut. Akibatnya, mereka mungkin menjadi lebih gugup, cenderung panik, atau bahkan mengulangi kesalahan yang sama karena tekanan psikologis.

3. Masalah pada Ingatan

Hipokampus, bagian otak yang bertanggung jawab untuk memori, juga terkena dampak ketika anak sering dimarahi. Berteriak secara berulang-ulang dapat mengganggu kemampuan hipokampus untuk menyimpan dan mengambil memori. Beberapa penenlitian ilmiah membuktikan, anak-anak yang sering dimarahi mungkin menjadi lebih pelupa atau kesulitan memahami pelajaran di sekolah. Mereka juga dapat merasa kesulitan dalam mempelajari keterampilan baru, karena otak mereka terus-menerus berada dalam keadaan stres.

4. Perubahan Perilaku

Memarahi anak sering kali tidak menyelesaikan masalah, melainkan memperburuknya. Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa anak-anak yang sering dimarahi cenderung menunjukkan perilaku agresif, seperti melawan atau bertengkar dengan teman. Sebaliknya, beberapa anak mungkin menjadi terlalu penurut atau kehilangan inisiatif karena takut membuat kesalahan.

Respons terhadap stres ini, baik dalam bentuk agresi maupun penurutan berlebihan, bukanlah tanda perkembangan yang sehat. Anak-anak yang sering menghadapi situasi seperti ini mungkin juga mengalami kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat dengan orang lain.

5. Risiko Depresi dan Kecemasan

Stres kronis yang disebabkan oleh sering dimarahi dapat memengaruhi kadar serotonin dalam otak, yaitu neurotransmitter yang bertanggung jawab atas suasana hati. Anak-anak yang sering dimarahi berisiko lebih tinggi mengalami depresi dan kecemasan, baik di masa kanak-kanak maupun dewasa. Mereka mungkin menunjukkan tanda-tanda seperti murung, menarik diri dari lingkungan sosial, atau kehilangan minat pada aktivitas yang biasanya mereka nikmati.

6. Ukuran Otak yang Mengecil

Beberapa studi ilmiah menemukan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh tekanan cenderung memiliki ukuran otak yang lebih kecil. Hal ini disebabkan oleh kerusakan pada struktur otak akibat paparan stres yang terus-menerus. Wilayah otak seperti hipokampus dan korteks prefrontal dapat kehilangan volume, yang berdampak pada kemampuan belajar, pengendalian emosi, dan daya ingat.

7. Kesulitan dalam Mengelola Emosi

    Selain dampak fisiologis, sering dimarahi juga dapat membuat anak mengalami kesulitan dalam mengelola emosi mereka sendiri. Mereka mungkin menjadi lebih mudah marah atau frustrasi, atau justru menekan emosi mereka hingga memengaruhi kesehatan mental.

    8. Penurunan Performa Akademik

      Anak yang sering dimarahi cenderung menunjukkan performa akademik yang lebih rendah. Hal ini berkaitan dengan gangguan pada kemampuan kognitif mereka, termasuk konsentrasi dan pemecahan masalah. Anak mungkin merasa kurang termotivasi untuk belajar atau merasa bahwa upaya mereka tidak akan pernah cukup baik.

      9. Dampak Jangka Panjang pada Hubungan

        Anak-anak yang sering dimarahi mungkin juga mengalami kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat di masa depan. Mereka bisa menjadi terlalu defensif, tidak percaya pada orang lain, atau takut menghadapi konflik. Pola ini sering kali berlanjut hingga dewasa, memengaruhi hubungan mereka dengan pasangan, teman, atau rekan kerja.

        Bagaimana Orang Tua Dapat Mengubah Pola Asuh?

        Jika ayah dan bunda sadar bahwa sering memarahi anak memiliki dampak negatif, langkah selanjutnya adalah mencari cara untuk mendisiplinkan mereka tanpa berteriak. Berikut ini beberapa tips yang dapat membantu:

        1. Mengelola Emosi Orang Tua

        Hal pertama yang perlu dilakukan oleh orang tua dengan mengelola emosi mereka sendiri. Tentu saja, setiap orang tua pernah merasa frustasi atau lelah dalam mengasuh anak. Namun, berteriak atau memarahi anak secara berlebihan justru akan menambah masalah. Sebaiknya, orang tua berusaha untuk tetap tenang meskipun situasi yang dihadapi sulit.

        Bila merasa emosi sedang memuncak, cobalah untuk mengambil napas dalam-dalam, mundur sejenak, dan berikan diri Anda waktu untuk menenangkan diri sebelum berbicara kepada anak. Dengan cara ini, ayah dan bunda akan lebih mampu untuk memberikan arahan yang lebih jelas dan positif.

        2. Berbicara dengan Nada Lembut dan Jelas

        Anak-anak lebih cenderung mendengarkan jika kita berbicara dengan lembut dan jelas. Hindari berbicara dengan volume tinggi atau marah. Sebaliknya, berbicara dengan nada yang tenang dan penuh kasih sayang akan lebih efektif dalam menyampaikan pesan kepada mereka.

        Berikan penjelasan mengapa perilaku mereka tidak bisa diterima dan apa yang bisa mereka lakukan untuk memperbaikinya. Pendekatan yang penuh pengertian ini akan membantu anak merasa dihargai dan tidak merasa takut.

        3. Membangun Komunikasi yang Terbuka

        Cobalah untuk membangun komunikasi yang terbuka dengan anak. Ajak anak berbicara tentang perasaan mereka dan apa yang membuat mereka melakukan hal tersebut. Dengan memahami perasaan anak, kita bisa membantu mereka untuk belajar dan berkembang lebih baik.

        Anak yang merasa didengarkan dan dihargai cenderung lebih mudah menerima arahan dan bimbingan dari orang tua.

        4. Memberikan Konsekuensi yang Jelas

        Saat anak melakukan kesalahan, penting untuk memberikan konsekuensi yang jelas, tetapi dengan cara yang tidak menghukum mereka secara emosional. Misalnya, jika anak tidak mengikuti aturan, berikan mereka tugas untuk memperbaiki kesalahan mereka atau lakukan tindakan yang mendidik, seperti meminta mereka untuk membantu pekerjaan rumah atau belajar dari kesalahan yang mereka buat.

        Konsekuensi yang jelas dan mendidik membantu anak untuk memahami bahwa ada tanggung jawab atas tindakan mereka tanpa merasa dihukum atau dihakimi.

        5. Menumbuhkan Empati Anak

        Ajarkan anak untuk memahami perasaan orang lain dan mengapa perilaku tertentu tidak bisa diterima. Mengajarkan empati pada anak membantu mereka untuk lebih memahami dampak dari tindakan mereka terhadap orang lain dan membangun hubungan yang sehat dengan sesama.

        Ayah dan bunda, Ingatlah bahwa setiap anak merupakan pembelajar yang terus berkembang. Kesabaran, cinta, dan dukungan adalah kunci utama dalam membimbing mereka menuju masa depan yang cerah. Semoga ulasan ini bermanfaat ya.

        Baca juga:

        Referensi

        1. Gunnar, M. R., & Quevedo, K. (2007). The neurobiology of stress and development. Annual Review of Psychology, 58, 145-173. https://doi.org/10.1146/annurev.psych.58.110405.085605
        2. Lupien, S. J., McEwen, B. S., Gunnar, M. R., & Heim, C. (2009). Effects of stress throughout the lifespan on the brain, behavior, and cognition. Nature Reviews Neuroscience, 10(6), 434-445. https://doi.org/10.1038/nrn2639
        3. McEwen, B. S. (2007). Physiology and neurobiology of stress and adaptation: Central role of the brain. Physiological Reviews, 87(3), 873-904. https://doi.org/10.1152/physrev.00041.2006
        4. Schmidt, M. E., & McEwen, B. S. (2012). The impact of stress on the brain: From the hippocampus to the prefrontal cortex. In S. S. M. A. O’Keefe & L. J. W. Robinson (Eds.), The Oxford Handbook of Developmental Neuroscience (pp. 603-628). Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780195392830.013.0033
        5. Shonkoff, J. P., Boyce, W. T., & McEwen, B. S. (2009). Neuroscience, molecular biology, and the childhood roots of health disparities: Building a new framework for health promotion and disease prevention. JAMA, 301(21), 2252-2259. https://doi.org/10.1001/jama.2009.754
        6. Thomas, A. M., & McDonald, K. (2015). The long-term effects of childhood trauma on mental health and development. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 56(9), 989-1000. https://doi.org/10.1111/jcpp.12404
        Please follow and like us:
        Scroll to Top