Avoidant attachment style, atau gaya keterikatan penghindaran, adalah salah satu pola hubungan emosional yang sering kali tidak disadari namun sangat memengaruhi cara seseorang menjalin hubungan dengan orang lain.
Dalam psikologi, attachment style atau gaya keterikatan merujuk pada cara seseorang menjalin hubungan emosional dengan orang lain. Gaya keterikatan ini dibentuk sejak masa kanak-kanak dan terus memengaruhi hubungan interpersonal di masa dewasa. Secara umum, terdapat empat jenis gaya keterikatan yang diidentifikasi dalam teori attachment: Secure Attachment Style, Avoidant Attachment Style, Anxious Attachment Style, dan Disorganized Attachment Style.
Apa Itu Avoidant Attachment Style?
Avoidant attachment style merupakan salah satu dari empat jenis gaya keterikatan (attachment styles) yang dirumuskan oleh psikoanalis John Bowlby dan dikembangkan lebih lanjut oleh Mary Ainsworth. Orang dengan gaya keterikatan penghindaran cenderung merasa tidak nyaman dengan keintiman emosional dan fisik. Mereka memiliki kecenderungan untuk menjaga jarak dalam hubungan, baik itu dengan pasangan, teman, maupun keluarga.
Menurut Tara Well, Ph.D., seorang profesor psikologi dari Columbia University, orang dengan avoidant attachment style biasanya merasa khawatir akan disakiti atau dikecewakan oleh orang lain. Oleh karena itu, mereka sering kali memilih untuk menghindari keterlibatan emosional yang mendalam.
Ciri khas avoidant attachment style adalah sikap mandiri yang berlebihan, keengganan untuk bergantung pada orang lain, dan kecenderungan untuk meremehkan pentingnya hubungan dekat. Pola ini sering kali terbentuk sejak masa kanak-kanak akibat pengalaman negatif dengan pengasuh utama, seperti orang tua.
Penyebab Terbentuknya Avoidant Attachment Style
Avoidant attachment style tidak muncul begitu saja. Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap terbentuknya gaya keterikatan ini, di antaranya:
1. Pola Asuh di Masa Kanak-Kanak
Pola asuh memiliki pengaruh besar dalam pembentukan avoidant attachment style. Anak-anak yang sering ditinggalkan atau diabaikan oleh orang tua cenderung mengembangkan gaya keterikatan ini. Ketika kebutuhan emosional mereka tidak dipenuhi secara konsisten, mereka belajar bahwa mengandalkan orang lain tidak akan memberikan hasil yang diharapkan. Akibatnya, mereka memilih untuk menjadi mandiri secara emosional sebagai mekanisme perlindungan diri.
Sebagai contoh, seorang anak yang sering menangis tetapi tidak mendapatkan respons dari orang tua, akan belajar untuk menekan emosinya. Pola ini terus berlanjut hingga dewasa, membentuk pola pikir bahwa mengandalkan orang lain adalah hal yang sia-sia.
2. Pengalaman Penolakan
Ketika seorang anak sering ditolak atau ditegur saat mengungkapkan kebutuhan atau perasaannya, mereka akan merasa bahwa keintiman emosional adalah sesuatu yang berisiko dan menyakitkan. Penolakan ini bisa berupa kritik langsung, sikap acuh tak acuh, atau pengabaian terhadap ekspresi emosi anak. Anak-anak ini kemudian mengembangkan keyakinan bahwa lebih baik menjaga jarak emosional daripada menghadapi kemungkinan penolakan.
Misalnya, seorang anak yang mengungkapkan ketakutannya kepada orang tua tetapi hanya dianggap “berlebihan” atau “manja” mungkin akan menutup diri di masa depan. Mereka belajar untuk menghindari keterikatan emosional demi melindungi diri dari rasa sakit.
3. Tekanan untuk Mandiri
Anak-anak yang dipaksa untuk mandiri sejak dini juga rentan mengembangkan avoidant attachment style. Tekanan ini sering kali muncul dalam lingkungan yang keras, di mana anak-anak diharapkan untuk “mengurus diri sendiri” atau tidak menunjukkan kelemahan. Orang tua yang tidak responsif terhadap kebutuhan emosional anak secara tidak langsung mengajarkan bahwa ketergantungan adalah tanda kelemahan.
Sebagai ilustrasi, anak yang harus mengurus kebutuhan sehari-harinya sendiri karena orang tua sibuk bekerja atau tidak hadir secara emosional, akan belajar bahwa mereka hanya bisa mengandalkan diri sendiri. Pola ini memperkuat keyakinan bahwa hubungan dekat dengan orang lain tidaklah penting atau bahkan berbahaya.
4. Trauma atau Pelecehan
Pengalaman trauma, seperti pelecehan fisik atau emosional, juga dapat menjadi pemicu terbentuknya avoidant attachment style. Anak-anak yang mengalami trauma sering kali merasa bahwa orang lain tidak dapat dipercaya atau akan menyakiti mereka. Akibatnya, mereka memilih untuk menjaga jarak dari hubungan emosional untuk melindungi diri.
Trauma ini tidak hanya mencakup kekerasan fisik tetapi juga bentuk-bentuk pelecehan emosional, seperti penghinaan atau manipulasi. Misalnya, anak yang terus-menerus dipermalukan oleh orang tua ketika menunjukkan emosi akan belajar untuk menekan perasaan mereka. Pola ini kemudian berkembang menjadi penghindaran keterikatan emosional di masa dewasa.
5. Kurangnya Model Hubungan yang Sehat
Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga dengan hubungan yang tidak harmonis, seperti konflik orang tua yang terus-menerus atau hubungan yang dingin, tidak memiliki contoh positif tentang bagaimana membangun keterikatan yang sehat. Tanpa model ini, mereka mungkin mengembangkan avoidant attachment style sebagai cara untuk menghindari hubungan yang dianggap tidak menyenangkan atau tidak aman.
Ciri-Ciri Avoidant Attachment Style
Bagaimana mengenali apakah seseorang memiliki avoidant attachment style? Berikut adalah beberapa ciri yang umum ditemukan:
- Orang dengan avoidant attachment style sering kali menjaga jarak dalam hubungan.
- Mereka merasa tidak nyaman dengan kedekatan emosional dan fisik.
- Mereka cenderung mengandalkan diri sendiri dalam hampir semua aspek kehidupan dan merasa tidak perlu meminta bantuan orang lain.
- Hubungan interpersonal sering kali dianggap tidak penting.
- Mereka mungkin merasa bahwa fokus pada diri sendiri lebih bermanfaat daripada membangun koneksi dengan orang lain.
- Ketika menghadapi masalah atau konflik, mereka cenderung menarik diri daripada berbicara atau mencari solusi bersama.
- Kepercayaan adalah isu besar bagi mereka. Orang dengan gaya ini sering merasa bahwa orang lain tidak dapat diandalkan atau akan mengecewakan mereka.
- Ketika merasa stres atau tertekan, mereka lebih memilih untuk mengalihkan perhatian dengan kegiatan seperti bekerja, menonton film, atau belanja daripada menghadapi emosi mereka.
- Mereka merasa tidak nyaman atau bahkan terancam ketika seseorang mencoba mendekat secara emosional.
Dampak Avoidant Attachment Style
Avoidant attachment style dapat memiliki dampak yang signifikan pada berbagai aspek kehidupan, termasuk hubungan pribadi, pekerjaan, dan kesehatan mental. Berikut adalah beberapa dampak yang mungkin terjadi:
1. Hubungan yang Kurang Memuaskan
Orang dengan gaya keterikatan penghindaran sering kali kesulitan membangun hubungan yang mendalam dan bermakna. Mereka cenderung menjaga jarak emosional dari pasangan atau teman dekat karena merasa tidak nyaman dengan keintiman. Akibatnya, mereka mungkin merasa kesepian meskipun memiliki banyak teman atau pasangan. Konflik dalam hubungan sering kali tidak terselesaikan karena mereka lebih memilih menghindari diskusi mendalam.
2. Kesulitan dalam Tim
Dalam konteks pekerjaan, mereka cenderung memilih bekerja sendiri daripada bekerja sama dalam tim. Hal ini dapat menghambat kemajuan karier, terutama dalam lingkungan yang mengutamakan kolaborasi. Misalnya, seseorang dengan avoidant attachment style mungkin enggan meminta bantuan kolega meskipun tugas tersebut membutuhkan kerja sama. Ketidakmampuan untuk membangun hubungan profesional yang kuat dapat memengaruhi peluang promosi dan pertumbuhan karier.
3. Masalah Kesehatan Mental
Kecenderungan untuk mengabaikan emosi dapat menyebabkan stres yang berkepanjangan, depresi, atau kecemasan. Mereka sering kali menekan perasaan mereka alih-alih menghadapinya, yang dapat berdampak negatif pada kesejahteraan emosional. Selain itu, mereka mungkin merasa sulit untuk mencari bantuan profesional karena takut terlihat lemah atau rentan. Kebiasaan ini dapat memperburuk masalah kesehatan mental yang sebenarnya bisa diatasi dengan intervensi yang tepat.
4. Kurangnya Dukungan Sosial
Karena cenderung menjaga jarak, mereka mungkin kehilangan dukungan sosial yang penting dalam menghadapi tantangan hidup. Mereka sering kali menolak bantuan dari orang lain, bahkan dalam situasi sulit, karena merasa lebih nyaman menyelesaikan masalah sendiri. Akibatnya, mereka tidak hanya kehilangan manfaat dukungan emosional tetapi juga peluang untuk memperkuat hubungan interpersonal yang penting untuk kesejahteraan jangka panjang.
5. Pengaruh pada Pengasuhan Anak
Jika seseorang dengan avoidant attachment style menjadi orang tua, pola keterikatan ini dapat memengaruhi cara mereka mendidik anak. Mereka mungkin kesulitan menunjukkan kasih sayang secara terbuka atau merespons kebutuhan emosional anak dengan cara yang mendukung. Anak-anak mereka, pada gilirannya, dapat mengembangkan gaya keterikatan yang tidak aman, menciptakan siklus yang terus berlanjut.
6. Keterbatasan dalam Pertumbuhan Pribadi
Orang dengan avoidant attachment style sering kali menghindari introspeksi atau pengembangan diri yang melibatkan pengakuan emosi dan hubungan. Mereka mungkin merasa stagnan karena tidak ingin menghadapi aspek-aspek kehidupan yang membutuhkan kerentanan atau keterbukaan terhadap perubahan.
Cara Mengatasi Avoidant Attachment Style
Meskipun avoidant attachment style dapat memberikan tantangan, ini bukanlah sesuatu yang tidak bisa diubah. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat membantu:
- Langkah pertama adalah menyadari bahwa kamu memiliki pola avoidant attachment. Identifikasi situasi di mana kamu cenderung menghindari keintiman atau menarik diri.
- Terapi perilaku kognitif (CBT) atau terapi berbasis attachment dapat membantu Anda memahami pola pikir dan perilaku serta mengubahnya menjadi lebih adaptif.
- Cobalah untuk berbicara tentang perasaan, meskipun pada awalnya terasa tidak nyaman. Mulailah dengan orang-orang yang di percayai.
- Meditasi atau mindfulness dapat membantu kamu mengenali emosi dan respons Anda tanpa menghakimi diri sendiri.
- Carilah hubungan dengan orang-orang yang mendukung dan memahami. Hubungan ini dapat membantu Anda merasa lebih nyaman dengan keintiman.
- Berikan kesempatan kepada orang lain untuk membuktikan bahwa mereka dapat dipercaya. Ini mungkin membutuhkan waktu, tetapi sangat penting untuk mengubah pola pikir Anda.
Peran Orang Tua dalam Mencegah Avoidant Attachment Style
Pencegahan avoidant attachment style sebenarnya dimulai sejak masa kanak-kanak. Berikut adalah beberapa cara orang tua dapat membantu:
- Luangkan waktu untuk berinteraksi dengan anak dan berikan perhatian penuh saat mereka membutuhkannya.
- Dengarkan kebutuhan dan perasaan anak tanpa menghakimi atau mengabaikannya.
- Ajarkan kemandirian, tetapi tetap tersedia untuk memberikan dukungan emosional.
- Bantu anak memahami dan mengelola emosi mereka dengan cara yang sehat.
Avoidant Attachment Style merupakan salah satu gangguan mental seperti NPD, berbeda dengan Introvert atau Ekstrover yang merupakan karakter seseorang. Semoga informasi ini bermanfaat ya.
Baca juga:
- 9 Kelebihan Introvert dalam Bekerja yang Sering Terabaikan
- Hai Pria, Kenali Sejak Dini 10 Ciri Wanita Manipulatif
- 7 Sikap Humble yang Bisa Membuat Hidupmu Lebih Bahagia
- 7 Ciri-Ciri Karakter Wanita yang Jarang Update Status di MedSos
Referensi
- Bartholomew, K., & Horowitz, L. M. (1991). Attachment styles among young adults: A test of a four-category model. Journal of Personality and Social Psychology, 61(2), 226–244. https://doi.org/10.1037/0022-3514.61.2.226
- Brennan, K. A., Clark, C. L., & Shaver, P. R. (1998). Self-report measurement of adult attachment: An integrative overview. In J. A. Simpson & W. S. Rholes (Eds.), Attachment theory and close relationships (pp. 46–76). Guilford Press.
- Cassidy, J., & Shaver, P. R. (Eds.). (2016). Handbook of attachment: Theory, research, and clinical applications (3rd ed.). Guilford Press.
- Fraley, R. C., & Shaver, P. R. (2000). Adult romantic attachment: Theoretical developments, emerging controversies, and unanswered questions. Review of General Psychology, 4(2), 132–154. https://doi.org/10.1037/1089-2680.4.2.132
- Hazan, C., & Shaver, P. (1987). Romantic love conceptualized as an attachment process. Journal of Personality and Social Psychology, 52(3), 511–524. https://doi.org/10.1037/0022-3514.52.3.511
- Main, M., & Solomon, J. (1990). Procedures for identifying infants as disorganized/disoriented during the Ainsworth Strange Situation. In M. T. Greenberg, D. Cicchetti, & E. M. Cummings (Eds.), Attachment in the preschool years: Theory, research, and intervention (pp. 121–160). University of Chicago Press.
- Mikulincer, M., & Shaver, P. R. (2007). Attachment in adulthood: Structure, dynamics, and change. Guilford Press.
- Simpson, J. A., Rholes, W. S., & Nelligan, J. S. (1992). Support seeking and support giving within couples in an anxiety-provoking situation: The role of attachment styles. Journal of Personality and Social Psychology, 62(3), 434–446. https://doi.org/10.1037/0022-3514.62.3.434
- Sroufe, L. A. (2005). Attachment and development: A prospective, longitudinal study from birth to adulthood. Attachment & Human Development, 7(4), 349–367. https://doi.org/10.1080/14616730500365928
- Wei, M., Russell, D. W., Mallinckrodt, B., & Vogel, D. L. (2007). The Experiences in Close Relationship Scale (ECR)-Short Form: Reliability, validity, and factor structure. Journal of Personality Assessment, 88(2), 187–204. https://doi.org/10.1080/00223890701268041