Ciri-ciri orang tua egois sangat penting untuk dikenali agar orang tua dan calon orang tua bisa lebih waspada dalam menerapkan pola asuh mereka
Orang tua merupakan figur yang sangat berpengaruh dalam kehidupan anak-anak. Mereka bukan hanya tempat berlindung, tapi juga tempat untuk belajar tentang kehidupan. Namun, ada kalanya orang tua tidak menyadari perilaku mereka yang justru bisa merugikan anak-anak mereka, salah satunya adalah sikap egois. Pola asuh yang egois atau toxic dapat berdampak besar pada perkembangan mental dan emosional anak.
Sikap egois ini bisa datang dalam berbagai bentuk, mulai dari mengabaikan kebutuhan emosional anak, tidak memberikan ruang untuk anak berkembang, hingga memaksakan kehendak orang tua tanpa mempertimbangkan perasaan atau pendapat anak. Ini adalah pola pengasuhan yang sering kali berujung pada perasaan sakit hati dan luka batin bagi anak-anak, yang dampaknya bisa berlangsung lama bahkan sampai mereka dewasa.
Ciri-Ciri Orang Tua Egois yang Harus Dikenali
Berikut beberapa ciri-ciri orang tua egois yang perlu diperhatikan. Mengidentifikasi ciri-ciri ini bisa menjadi langkah pertama untuk mencegah atau mengatasi masalah pengasuhan yang toxic.
1. Anak Harus Selalu Patuh Tanpa Pertanyaan
Orang tua egois sering kali merasa bahwa mereka selalu benar dan harus didengarkan. Mereka menganggap bahwa anak-anak harus patuh tanpa bisa bertanya atau memberi pendapat. Ketika anak tidak patuh, mereka sering kali diancam dengan hukuman atau diberitahu bahwa mereka akan berdosa. Padahal, setiap individu, termasuk anak, berhak untuk berpendapat dan menyuarakan keinginan mereka.
2. Tidak Pernah Minta Maaf
Orang tua yang egois jarang sekali mengakui kesalahan mereka, bahkan jika mereka jelas-jelas salah. Mereka tidak memberikan contoh bagaimana meminta maaf dengan tulus atau mengakui bahwa mereka bisa membuat kesalahan. Hal ini membuat anak merasa tidak dihargai dan kehilangan rasa percaya diri.
3. Selalu Menetapkan Aturan Tanpa Diskusi
Orang tua egois cenderung membuat keputusan besar dalam kehidupan keluarga tanpa melibatkan anak-anak dalam diskusi. Mereka menetapkan aturan dan menghukum tanpa mempertimbangkan perspektif anak-anak. Misalnya, aturan yang sangat ketat atau keputusan besar yang memengaruhi masa depan anak, seperti memilih jurusan sekolah atau teman yang boleh didekati, semuanya hanya didasarkan pada kehendak orang tua, bukan kebutuhan anak.
4. Tidak Memberikan Ruang Untuk Perbedaan Pendapat
Ciri-ciri orang tua egois lainnya, tidak toleran terhadap perbedaan pendapat. Jika anak mempertanyakan aturan atau kebijakan yang mereka buat, orang tua akan melihatnya sebagai bentuk pembangkangan. Alih-alih mendengarkan alasan atau perspektif anak, mereka cenderung menganggap anak tidak tahu apa-apa dan harus menerima semuanya.
5. Memaksakan Kedisiplinan Tanpa Memperhatikan Kondisi Anak
Disiplin merupakan hal yang penting dalam pengasuhan, namun orang tua egois seringkali terlalu kaku dan memaksakan kedisiplinan. Mereka tidak memperhatikan kondisi anak, seperti kelelahan fisik atau emosional. Misalnya, meskipun anak sudah belajar seharian, orang tua tetap memaksa mereka untuk melakukan tugas rumah atau mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, tanpa memberi mereka waktu untuk beristirahat.
Dampak Jangka Panjang dari Pola Asuh Egois
Pola asuh yang egois dapat meninggalkan dampak jangka panjang yang merugikan bagi perkembangan anak. Beberapa dampak yang dapat muncul antara lain:
1. Kehilangan Rasa Percaya Diri
Anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua egois sering kali merasa bahwa mereka tidak pernah cukup baik. Orang tua yang terpusat pada diri mereka sendiri cenderung memberikan harapan yang sangat tinggi, atau bahkan tidak realistis, pada anak-anak mereka. Mereka mungkin merasa terus-menerus berada di bawah tekanan untuk memenuhi ekspektasi yang tidak pernah selesai.
Hal ini dapat menyebabkan rasa rendah diri yang mendalam, di mana anak merasa bahwa apapun yang mereka lakukan tidak akan pernah memadai. Akibatnya, mereka bisa tumbuh dengan rasa percaya diri yang sangat rendah dan takut untuk mencoba hal-hal baru, karena khawatir akan kegagalan yang dianggap tidak bisa diterima. Kehilangan rasa percaya diri ini bisa memengaruhi mereka dalam menghadapi tantangan hidup, baik dalam pendidikan, pekerjaan, atau kehidupan sosial.
2. Kecemasan dan Depresi
Penenlitian ilmiah menunjukan, Anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang egois sering kali merasa tidak didengar atau dihargai. Ketika perasaan dan kebutuhan mereka tidak diakui atau dianggap penting, mereka mungkin mulai merasa terisolasi dan tidak diperhatikan. Hal ini dapat berujung pada perasaan kecemasan yang berlebihan, karena mereka tidak tahu bagaimana cara menghadapi dunia luar yang penuh dengan tuntutan dan ketidakpastian.
Tanpa adanya dukungan emosional yang sehat, mereka juga bisa mengembangkan gejala depresi, yang bisa memengaruhi kualitas hidup mereka dalam jangka panjang. Perasaan tidak aman dan terus-menerus meragukan diri mereka sendiri dapat memperburuk keadaan psikologis mereka, yang bisa mempengaruhi kemampuan mereka untuk berfungsi secara normal dalam kehidupan sehari-hari.
3. Kesulitan dalam Hubungan Interpersonal
Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh tekanan dan tidak mendapatkan ruang untuk berekspresi cenderung kesulitan dalam menjalin hubungan yang sehat dengan orang lain. Mereka sering kali belajar bahwa hubungan itu penuh dengan pengorbanan dan pengendalian, yang menyebabkan mereka kesulitan untuk membangun hubungan yang saling mendukung dan terbuka.
Studi ilmiah mengungkapkan, anak-anak ini mungkin merasa takut atau ragu untuk berbicara atau membuka diri pada orang lain, karena mereka telah terbiasa dengan situasi di mana ekspresi diri mereka diabaikan atau dianggap tidak penting. Akibatnya, mereka mungkin mengalami kesulitan dalam membangun ikatan emosional yang kuat, baik dengan teman-teman, pasangan, atau bahkan rekan kerja di masa dewasa. Mereka bisa menjadi sangat tertutup, merasa tidak nyaman untuk menunjukkan perasaan atau berbicara tentang diri mereka, yang seringkali mengarah pada isolasi sosial dan kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain.
4. Menyimpan Dendam dan Luka Batin
Luka emosional yang ditinggalkan oleh orang tua yang egois sering kali bertahan hingga dewasa. Anak-anak yang tumbuh dengan perasaan tidak diterima atau dihargai cenderung membawa luka batin ini ke dalam kehidupan mereka ketika mereka tumbuh dewasa. Perasaan sakit hati ini, yang sering kali tidak pernah terselesaikan, bisa mengganggu hubungan mereka dengan orang lain dan mempengaruhi pandangan mereka terhadap diri sendiri.
Mereka mungkin menyimpan dendam terhadap orang tua mereka, merasa kesal karena tidak mendapatkan kasih sayang atau perhatian yang mereka butuhkan. Luka ini bisa mengganggu kemampuan mereka untuk mempercayai orang lain atau membangun hubungan yang sehat, karena mereka mungkin merasa bahwa mereka tidak pantas mendapatkan cinta atau perhatian. Bahkan, dalam beberapa kasus, perasaan ini bisa memengaruhi kesehatan mental mereka, menyebabkan mereka menghadapi kesulitan dalam mencapai pemulihan emosional yang sejati.
5. Menurunnya Kemampuan untuk Mengelola Emosi
Anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang egois sering kali tidak diberikan kesempatan untuk belajar bagaimana mengelola emosi mereka dengan sehat. Ketika orang tua terlalu fokus pada diri mereka sendiri atau kebutuhan mereka, mereka mungkin tidak memberikan dukungan yang dibutuhkan anak-anak untuk mengembangkan kecerdasan emosional.
Akibatnya, anak-anak ini mungkin tidak tahu bagaimana cara mengenali, mengekspresikan, atau mengelola perasaan mereka dengan cara yang positif. Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam menghadapi stres, frustrasi, atau konflik, karena mereka tidak dilatih untuk mengelola perasaan mereka sejak dini. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengarah pada kesulitan dalam beradaptasi dengan tuntutan hidup dewasa, seperti menghadapi tantangan pekerjaan atau hubungan interpersonal yang kompleks.
6. Perasaan Terperangkap dalam Peran yang Tidak Diinginkan
Anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang egois mungkin merasa terjebak dalam peran yang tidak diinginkan, di mana mereka merasa harus selalu memenuhi kebutuhan orang tua tanpa memperhatikan kebutuhan mereka sendiri. Orang tua yang egois sering kali mengharapkan anak-anak mereka untuk menjadi pelayan bagi keinginan mereka atau bahkan menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka.
Akibatnya, anak-anak ini bisa merasa terjebak dalam peran yang tidak mereka pilih, yang menyebabkan perasaan frustrasi dan keinginan untuk bebas. Mereka mungkin merasa bahwa mereka tidak memiliki kendali atas hidup mereka, yang bisa mengarah pada kebingungan tentang identitas diri dan tujuan hidup mereka di masa depan.
7. Kesulitan dalam Mengambil Keputusan
Anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang egois sering kali tidak diberikan kesempatan untuk membuat keputusan sendiri, baik dalam hal kecil maupun besar. Orang tua yang terfokus pada kebutuhan mereka sendiri atau yang memiliki kontrol yang sangat ketat atas anak-anak mereka, cenderung membuat keputusan untuk anak-anak mereka tanpa melibatkan mereka dalam prosesnya.
Hal ini menyebabkan anak-anak menjadi kurang percaya diri dalam mengambil keputusan mereka sendiri. Ketika mereka tumbuh dewasa, mereka mungkin merasa kesulitan untuk membuat pilihan yang penting dalam hidup mereka, karena mereka tidak terbiasa untuk mengandalkan penilaian diri mereka atau mendengarkan insting mereka. Keputusan hidup besar, seperti karier atau hubungan, mungkin terasa sangat sulit bagi mereka karena kurangnya pengalaman dalam mengambil keputusan sendiri sejak kecil.
Menghadapi Orang Tua Egois: Tips dan Strategi
Menghadapi orang tua egois memang tidak mudah, tetapi ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak buruk dari pola pengasuhan yang toxic. Berikut adalah beberapa tips untuk anak-anak yang tumbuh dalam keluarga dengan orang tua yang egois:
1. Tetapkan Batasan yang Sehat
Salah satu cara terbaik untuk mengatasi orang tua yang egois adalah dengan menetapkan batasan yang jelas. Ini bisa berupa batasan emosional, fisik, atau mental. Misalnya, bila orang tua mulai mengontrol terlalu banyak, anak bisa dengan tegas mengatakan tidak atau meminta waktu untuk diri sendiri. Ini membantu anak merasa lebih diberdayakan dan dapat mengendalikan sebagian besar hidup mereka.
2. Berbicara dengan Jujur dan Terbuka
Mengungkapkan perasaan dengan jujur kepada orang tua adalah langkah yang penting meskipun bisa sangat sulit. Anak-anak harus belajar untuk mengatakan apa yang mereka rasakan tanpa takut dihukum. Namun, ini perlu dilakukan dengan cara yang tenang dan penuh hormat agar tidak memperburuk situasi.
3. Mencari Dukungan dari Pihak Lain
Terkadang, berbicara dengan teman dekat atau seorang profesional seperti psikolog bisa membantu anak mendapatkan perspektif yang lebih objektif dan dukungan emosional. Dukungan ini bisa membantu mereka merasa lebih kuat dalam menghadapi orang tua yang egois.
4. Menerima Realitas dan Mencari Penyembuhan
Bila perubahan dari orang tua tidak terjadi, anak-anak harus menerima kenyataan bahwa mereka mungkin tidak akan pernah mendapatkan jenis perhatian atau kasih sayang yang mereka harapkan. Ini bukan berarti mereka tidak bisa bahagia. Mencari penyembuhan melalui terapi atau dukungan sosial dapat membantu mereka menyembuhkan luka emosional dan tumbuh menjadi individu yang lebih baik.
Demikianlah penjelasan tentang ciri-ciri orang tua egois dan toxic, semoga bermanfaat ya.
Baca juga:
- 5 Hak Ayah dalam Keluarga, Apa Aja Sih?
- 8 Hak Ibu dalam Keluarga
- Peran Ayah dan Ibu dalam Keluarga, Kunci Kesuksesan Anak
- Fearful Avoidant Attachment Style: Penyebab, dan Cara Mengatasi
- Istimewanya Anak Perempuan Bagi Seorang Ayah dalam Islam
Referensi
- Baumrind, D. (1991). The influence of parenting style on adolescent competence and substance use. The Journal of Early Adolescence, 11(1), 56-95. https://doi.org/10.1177/0272431691111004
- Chao, R. K. (1994). Beyond parental control and authoritarian parenting style: Understanding Chinese parenting through the cultural notion of training. Child Development, 65(4), 1111-1119. https://doi.org/10.2307/1131308
- Darling, N., & Steinberg, L. (1993). Parenting style as context: An integrative model. Psychological Bulletin, 113(3), 487-496. https://doi.org/10.1037/0033-2909.113.3.487
- Gallegos, A., & Fincham, F. D. (2006). Parent-child communication and adolescent adjustment. Journal of Adolescence, 29(6), 923-937. https://doi.org/10.1016/j.adolescence.2006.01.001
- Grusec, J. E., & Goodnow, J. J. (1994). Impact of parental discipline practices on the development of children’s internalization of values. Developmental Psychology, 30(1), 21-32. https://doi.org/10.1037/0012-1649.30.1.21
- Hoffman, M. L. (2000). Empathy and moral development: Implications for caring and justice. Cambridge University Press.
- McKinney, C., & Renk, K. (2008). Parenting styles and adolescent behaviors: The role of gender in the relationship. Journal of Youth and Adolescence, 37(5), 675-683. https://doi.org/10.1007/s10964-007-9172-x
- Maccoby, E. E., & Martin, J. A. (1983). Socialization in the context of the family: Parent-child interaction. In E. M. Hetherington (Ed.), Handbook of child psychology: Vol. 4. Socialization, personality, and social development (pp. 1-101). Wiley.
- Lamb, M. E. (2010). The role of the father in child development. John Wiley & Sons.
- Varga, M., & Patock-Peckham, J. A. (2019). Parental psychological control, children’s self-regulation, and internalizing symptoms: The moderating role of empathy. Journal of Child and Family Studies, 28(6), 1556-1566. https://doi.org/10.1007/s10826-019-01445-w